Fraktur
Fraktur adalah gangguan kontinuitas
tulang dengan atau tanpa perubahan letak fragmen tulang yang mengakibatkan
tulang yang menderita tersebut kehilangan kontinuitasnya atau keseimbangannya (Kumar,
1997).
Penyebab fraktur bisa karena sebab
intrinsik dan sebab ekstrinsik (Kumar, 1997). Sedangkan menurut Mayer et
al., (1959) penyebab fraktur bisa disebabkan karena oleh trauma atau
rudapaksa yang berasal dari luar tubuh ataupun oleh penyakit. Menurut Boden
(2005), fraktur karena penyakit dapat disebabkan oleh osteomalacia, dimana
terjadi reduksi densitas tulang dan kekuatannya.
Menurut Archibald (1965), tanda klinis
yang terjadi pada fraktur adalah kebengkakan, deformitas, kekakuan gerak yang
abnormal, krepitasi, kehilangan fungsi dan rasa sakit.
Berdasarkan ada tidaknya hubungan
dengan udara luar, fraktur dibedakan menjadi fraktur tertutup dan fraktur
terbuka. Fraktur tertutup, apabila ujung tulang yang patah masih tertutup oleh
otot dan kulit, tidak ada hubungan dengan udara luar. Fraktur terbuka yaitu
apabila ujung tulang yang patah berhubungan dengan udara luar, di sini kulit
terbuka sehingga ujung tulang yang patah tampak dari luar. (Kumar, 1997).
Berdasarkan tingkat kerusakan tulang,
fraktur dibedakan menjadi fraktur complete dan fraktur incomplete.
Fraktur complete adalah fraktur yang ditandai dengan adanya
kerusakan pada 2 fragmen dan perubahan letak dari fragmen tersebut. Sedangkan
fraktur incomplete adalah fraktur yang biasanya terjadi pada
hewan muda dan ditandai dengan hilangnya kontinuitas dan perubahan letaknya
minimal, misalnya pada fraktur greenstick dan fraktur fissura (Kumar, 1997).
Sedangkan berdasarkan arah patahan dan
lokasi, fraktur dibagi menjadi tujuh yaitu fraktur transversal jika arah
patahannya tegak lurus dengan sumbu panjang tulang. Apabila dilakukan reposisi
atau reduksi, fragmen tulang tersebut mempunyai kedudukan yang cukup stabil
sehingga mempunyai pengaruh yang baik untuk kesembuhan. Kemudian fraktur oblique (miring)
adalah fraktur dengan arah patahan miring membentuk sudut melintasi tulang yang
bersangkutan, fraktur spiral jika arah patahannya bentuk
spiral disertai terpilinnya ekstremitas. Fraktur impaktive adalah
fraktur dimana salah satu ujung tulang masuk ke fragmen yang lain. Fraktur comminutive adalah
fraktur dimana tulang terpecah menjadi beberapa bagian. Fraktur epiphyseal adalah
fraktur pada titik pertemuan epiphysis pada batang tulang dan fraktur condyloid
adalah fraktur dimana bagian condylus yang patah terlepas dari bagian yang
lain (Kumar, 1997).
Tanda Klinis
Hewan yang mengalami patah tulang femur memperlihatkan
tanda klinis, pincang, pembengkakan, krepitasi, dan rasa nyeri. Pincang,
terjadi karena persembuhan pada patah tulang yang tidak sempurna. Pincang pada
hewan liar atau hewan piara yang tidak mendapat perhatian dari pemiliknya, biasanya
terjadi karena fraktur ringan dan dapat sembuh dengan sendirinya. Krepitasi,
adalah suara-suara yang dihasilkan oleh gesekan-gesekan dari segmen-segmen.
Krepitasi dapat dipakai untuk menentukan diagnosa suatu fraktur os femur.
Pembengkakan, terjadi akibat adanya reaksi tubuh terhadap fraktur. Di daerah terjadinya
fraktur terdapat perdarahan dan kerusakan jaringan tubuh. Sehingga terjadi
reaksi pertahanan tubuh karena kepingan-kepingan di daerah tesebut dianggap
benda asing atau adanya infeksi sekunder oleh kuman- kuman. Rasa nyeri, akan
timbul dengan spontan bila bagian yang mengalami fraktur digerakkan, sehingga
hewan yang mengalami patah tulang biasanya malas bergerak, karena kalau ia
bergerak akan terasa sakit atau nyeri. Rasa nyeri tersebut juga berguna untuk
menentukan lokasi fraktur (Fossum,
2002).
Diagnosis
Diagnosis fraktur dilakukan dengan
anamnesis, inspeksi, pergerakan, pengukuran, palpasi dan pemeriksaan foto
rontgent. Anamnesis dilakukan untuk mengetahui fraktur, penyebab, kapan
terjadinya sehingga dapat membantu diagnosis. Inspeksi dilakukan dengan seksama
pada anggota gerak, apakah ada kepincangan, pembengkakan, kekakuan gerak,
perubahan warna, kebiruan, pucat dan sebagainya. Pengukuran dilakukan
dengan cara membandingkan bagian kaki
yang sehat dengan yang sakit, apakah terlihat simetris. Palpasi dilakukan
dengan cara yang hati – hati untuk mengetahui adanya krepitasi, oedema, dan
rasa sakit. Diagnosis paling tepat adalah dengan foto rontgent. Pemotretan
fraktur harus diambil dari 2 sisi yang saling tegak lurus sehingga diperoleh
gambaran kedudukan tulang yang mengalami fraktur secara jelas sehingga akan
membantu terapinya (Mayer et al.,
1959).
Prognosis
Menurut
Fossum (2002) stadium persembuhan
terhadap kasus fraktur dibagi menjadi tiga tahapan:
1.
Stadium callus primer
·
Darah memenuhi ruang antar fraktur dan
sekitarnya, kemudian darah membeku.
·
Infiltrasi sel endotel dan osteogenik
(berasal dari periost).
·
Osteogenik berubah menjadi osteoblast
dan chondroblast, lambat laun sel-sel ini akan membentuk jaringan ikat baru
yaitu calus sementara atau callus primer.
·
Callus primer keadaannya masih lunak.
·
Proses ini berjalan 4 sampai 5 hari.
2.
Stadium callus sekunder (regenerasi)
·
Stadium ini merupakan lanjutan dari
stadium primer.
·
Callus berangsur-angsur mengecil dan
konsistensinya mulai mengeras karena infiltrasi sel osteoblast dan chondroblast
yang bertambah banyak.
·
Bentuk callus mulai mirip jaringan
tulang atau osteoid/ callus sekunder.
·
Proses ini berjalan 3 sampai 6 minggu
3.
Stadium konsolidasi atau ossifikasi
·
Penyebaran unsur kalsium dan fosfor dari
darah.
·
Konsistensinya mulai keras.
·
Proses berjalan sekitar 6 minggu sampai
6 bulan
Faktor- faktor yang dapat mempengaruhi percepatan
penyembuhan:
·
Umur
Umur memegang peranan
dalam proses persembuhan fraktur. Hewan muda relatif lebih cepat sembuh dibandingkan
hewan tua. Hal ini disebabkan banyaknya zat-zat perekat pada hewan muda
sehingga proses persambungan lebih cepat terjadi.
·
Tipe fraktur
Biasanya tipe oblique
atau miring dan tipe spiral lebih cepat sembuh daripada tipe
transversal/melintang.
·
Jenis individu
Kecepatan persembuhan
suatu fraktur pada berbagai hewan berbeda-beda. Hal ini dipengaruhi oleh
metabolisme yang terjadi didalam tubuh masing-masing individu yang berbeda-beda
pula.
Gangguan–gangguan terahadap persembuhan
·
Gerakan-gerakan fragmen
Callus akan tumbuh
dengan baik kalau tidak ada gerakan. Gerakan-gerakan fragmen akan menimbulkan
keadaan dimana callus menjadi licin dan bisa digoyang-goyangkan seolah-olah
persendian baru (neoathrosis/pseodoathrosis). Gerakan-grakan fragmen biasanya
disebabkan oleh kontraksi otot, hewan bergerak atau berjalan atau secara normal
digerakan oleh manusia, misalnya balutan-balutan yang sering dibuka.
·
Callus akan tumbuh dengan baik bila
dalam fraktur tidak ada benda asing. Benda asing dapat mengeritir callus.
Misalnya pada fraktur multiplek dan complicata. Pada fraktur complicata ada
kotoran yang masuk dan dapat menyebabkan infeksi pada fraktur sehingga
mengganggu proses penyembuhan.
·
Gangguan nutrisi
Kurangnya vitamin A dan
D akan mengganggu penyerapan kalsium Ca dan P oleh tubuh sehingga callus akan
menjadi keras dan lemah terus menerus dan terjadi jaringan ikat lunak saja.
·
Penyakit
Adanya penyakit seperti
ricketsia, malnutrisi, osteomyelitis dapat memperlambat persembuhan suatu
fraktur.
Treatmen
Prinsip penanganan fraktur ada 4, yaitu: rekognisi, reduksi,
retensi dan rehabilitasi (Fossum, 2002)
1. Rekognisi, mengenal jenis fraktur,
lokasi dan keadaan secara umum; riwayat kecelakaan, parah tidaknya luka,
diskripsi kejadian oleh pasien, menentukan kemungkinan tulang yang patah dan
adanya krepitus.
2. Reduksi, mengembalikan fragmen
tulang ke posisi anatomis normal untuk mencegah jaringan lunak kehilangan
elastisitasnya akibat infiltrasi karena edema dan perdarahan. Reduksi ada 3
(tiga), yaitu:
·
Reduksi
tertutup (close reduction), dengan cara manual/ manipulasi, dengan tarikan
untuk menggerakan fragmen tulang/ mengembalikan fragmen tulang ke posisinya
(ujung-ujungnya saling berhubungan)
·
Traksi,
digunakan untuk mendapatkan efek reduksi dan imobilisasi, dimana beratnya traksi
di sesuaikan dengan spasme otot. Sinar X digunakan untuk memantau reduksi
fraktur dan aproksimasi fragmen tulang
·
Reduksi
terbuka, dengan memasang alat untuk mempertahankan pergerakan, yaitu fiksasi
internal (kawat, sekrup, plat, nail dan batang dan implant logam) dan fiksasi
ekterna (pembalutan, gips, bidai, traksi kontinue, pin dan tehnik gips
3. Reposisi, setelah fraktur di
reduksi, fragmen tulang harus di imobilisasi atau dipertahankan dalam posisi
penyatuan yang tepat. Imobilisasi dapat dilakukan dengan cara fiksasi internal
dan eksternal.
4. Rehabilitasi, mempertahankan dan
mengembalikan fungsi tulang secara sempurna, dengan cara:
·
Mempertahankan
reduksi dan imobilisasi
·
Meninggikan
ekstremitas untuk meminimalkan pembengkakan
·
Memantau
status neorovaskular
·
Mengontrol
kecemasan dan nyeri
·
Latihan
isometrik dan setting otot
·
Berpartisipasi
dalam aktivitas hidup sehari-hari
·
Kembali
ke aktivitas secara bertahap