Halaman

Monday, March 16, 2015

Etiologi Bovine Ephemeral Fever (BEF)




Bovine Ephemeral Fever disebabkan oleh virus BEF, yang termasuk dalam single stranded RNA, genus Ephemerovirus, family Rhabdoviridae. Virus ini mempunyai besaran antara 80-140 nm, dan berbentuk seperti peluru, mempunyai amplop, sehingga sensitf  terhadap diethylether dan sodium deoxycholate (St. George 1988). Pada suhu 48°C, virus BEF tetap aktif dalam darah. Virus ini juga dapat diinaktifkan pada suhu 56°C selama 10 menit atau 37°C selama 18 jam (Della Porta dan Brown 1979). Virus BEF tidak aktif pada pH 2,5 atau pH 12,0 selama 12 menit. Hasil karakterisasi isolat BEF dari beberapa negara menunjukkan bahwa isolat BEF asal Jepang, Taiwan, Cina, Turki, Israel dan Australia, memiliki kesamaan gen yang conserve. Secara filogenetik, BEF memiliki kesamaan berdasarkan daerah/negara, yang terbagi dalam tiga kelompok klaster yaitu kelompok Asia, Australia dan Timur Tengah (Zheng dan Qiu 2012). Tidak ada perbedaan yang jelas antara strain virus yang satu dengan yang lain, meskipun di Australia, isolat virus BEF yang diperoleh dari nyamuk berbeda dengan yang diperoleh dari ternak sapi yang terinfeksi. Isolat yang diperoleh hanya membedakan antara virus BEF virulen dan avirulen (Kato et al. 2009).

REF :
Della-Porta AJ, Brown F. 1979. The physiochemical and chemical characterization of Bovine Ephemeral Fever.
 

St. George TD. 1988. Bovine Ephemeral Fever: a review. Trop Anim Health Prod. 20:194-202.virus as a member of the family Rhabdoviridae. J Gen Virol. 4:99-112.
 
Kato T, Aizawa M, Takayoshi K, Kokuba T, Yanase T, Shirafuji H, Tsuda T, Yamakawa M. 2009. Phylogenetic relationships of the G gene sequence of Bovine Ephemeral Fever virus isolated in Japan, Taiwan and Australia. Vet Microbiol. 137:217-223.

Zheng FY, Qiu CQ. 2012. Phylogenetic relationships of the glycoprotein gene of Bovine Ephemeral Fever virus


Cara USG pada Sapi Bali Untuk Pemeriksaan Sistem Reproduksi


KEMAJIRAN PADA TERNAK BETINA



KEMAJIRAN PADA TERNAK BETINA

Pendahuluan
            Produktivitas suatu peternakan sangat tergantung pada manajemen/pengelolaan termasuk pengelolaan dalam bidang reproduksi. Pengelolaan reproduksi yang baik akan meningkatkan efisiensi reproduksi, tinggi rendahnya efisiensi reproduksi ditentukan oleh 5 faktor yaitu :
·         Angka perkawinan per kebuntingan (service per conception)
·         Angka kebuntingan (conception rate)
·         Angka kelahiran (calving rate)
·         Tenggang waktu antar melahirkan (calving interval)
·         Tenggang waktu antara melahirkan sampai bunting kembali (service period)
Gangguan proses reproduksi (kemajiran) akan menyebabkan rendahnya efisiensi reproduksi sehingga produktivitas peternakan rendah
            Kemajiran adalah suatu keadaan yang ditandai dengan terjadinya gangguan proses reproduksi yang disebabkan oleh satu atau banyak faktor yang dapat terjadi baik pada ternak jantan maupun betina. Derajat kemajiran tergantung dari faktor penyebab dan tingkat kesembuhan setelah penanganan. Infertilitas adalah kemajiran derajat ringan yang sifatnya sementara dan masih dapat disembuhkan setelah dilakukan penanganan. Sterilitas adalah kemajiran yang bersifat permanen atau tidak dapat disembuhkan sehingga proses reproduksi terhenti secara menyeluruh.
            Beberapa hal yang dapat dijadikan ukuran adanya gangguan reproduksi pada suatu peternakan khususnya peternakan sapi adalah :
·         Service per conception lebih dari 2
·         Conception rate kurang dari 50 %
·         Calving interval melebihi 400 hari
·         Service period melebihi 120 hari
·         Jumlah induk yang membutuhkan lebih dari 3 kali IB untuk terjadinya kebuntingan lebih dari 30 %
Apabila parameter diatas terjadi pada suatu peternakan dapat menyebabkan rendahnya angka kelahiran (calving rate).
            Faktor-faktor yang dapat menyebabkan terjadinya kemajiran pada ternak betina adalah :
1.      Gangguan keseimbangan hormon reproduksi
2.      Infeksi
3.      Kelainan congenital atau herediter
4.      Patologi alat reproduksi
5.      Pakan











KEMAJIRAN KARENA FAKTOR HORMONAL

            Hormon reproduksi adalah hormon yang mempunyai target akhir pada alat reproduksi yang terjadi pada setiap periode dari siklus reproduksi yang dimulai setelah hewan betina mengalami dewasa kelamin. Siklus reproduksi terdiri dari fase birahi, ovulasi, fertilisasi, kebuntingan dan diakhiri dengan kelahiran, selanjutnya akan kembali terjadi birahi apabila tidak terjadi gangguan reproduksi.
            Kelenjar endokrin dalam tubuh yang dapat menghasilkan hormon reproduksi adalah :
1.  a. Hipofisa anterior menghasilkan FSH, LH dan LTH
     b. Hipofisa posterior menghasilkan Oksitosin dan Vasopressin
2.  Ovarium menghasilkan Estrogen, Progesteron dan Relaksin
3. Endometrium menghasilkan Prostaglandin F. Pada kuda yang sedang bunting, endometrium menghasilkan PMSG, pada golongan primata yang bunting termasuk manusia endometrium menghasilkan HCG
4. Pada hewan jantan testes menghasilkan Testosteron

            FSH, LH, LTH, PMSG dan HCG adalah hormon yang mempunyai target organ pada gonad (ovarium dan testes) sehingga disebut dengan hormon gonadotropin
            Kemajiran akibat gangguan keseimbangan hormonal dapat terjadi pada setiap fase dari siklus reproduksi. Pada fase birahi ditandai dengan terjadinya anestrus, nimfomania, birahi tenang (silent heat) atau sub estrus (birahi pendek), pada fase kebuntingan ditandai dengan terjadinya abortus sedangkan pada fase kelahiran ditandai dengan terjadinya dystocia.
Kemajiran akibat gangguan keseimbangan hormonal dapat berupa hipofungsi ovarium, atropi ovarium, kista ovarium dan korpus luteum persisten.

Hipofungsi Ovarium
            Hipofungsi ovarium terjadi karena adanya gangguan fungsi kelenjar hipofisa anterior sehingga produksi FSH atau LH terganggu. Rendahnya kadar FSH menyebabkan tidak terjadi pertumbuhan folikel pada ovarium, rendahnya kadar LH tanpa diikuti dengan rendahnya kadar FSH menyebabkan terjadi pertumbuhan folikel yang tidak diikuti dengan terjadinya ovulasi, rendahnya kadar FSH dan LH menyebabkan terjadinya hipofungsi ovarium yang ditandai dengan tidak terbentuknya folikel atau korpus luteum pada ovarium sehingga permukaan ovarium licin namun ukurannya normal.
            Penyebab terjadinya hipofungsi ovarium adalah kesalahan pengelolaan terutama pakan tetapi dapat pula disebabkan oleh hal lainnya seperti sanitasi kandang, kandang yang sempit dengan ventilasi udara yang kurang baik dan ternak yang terus dikandangkan. Gejala klinis terjadinya hipofungsi ovarium adalah anestrus dalam jangka waktu yang cukup lama. Penanganan pada kasus hipofungsi ovarium terutama ditujukan pada perbaikan pengelolaan.

Atropi Ovarium
            Apabila hipofungsi ovarium akibat kekurangan pakan dan kondisi lingkungan yang buruk berjalan dalam jangka waktu yang lama maka terjadi atropi ovarium. Atropi ovarium adalah ovarium dengan ukuran yang lebih kecil dari normal dengan permukaan yang licin karena tidak terjadi pertumbuhan folikel sehingga proses reproduksi sama sekali tidak berjalan.
Kondisi fisik ternak penderita sangat buruk dan terjadi anestrus berkepanjangan. Kondisi fisik penderita atropi ovarium berbeda dengan kondisi fisik penderita hipoplasia ovarium akibat faktor genetik. Pada penderita hipoplasia ovarium akibat akibat faktor penderita memiliki kondisi fisik yang baik (gemuk) walaupun ukuran ovariumnya lebih kecil dengan permukaan yang licin.
Penanganan pada penderita atropi ovarium dilakukan dengan perbaikan manajemen termasuk pakan, selanjutnya bila kondisi fisik telah cukup baik dilakukan penanganan dengan pemberian preparat hormon seperti FSH, LH, PMSG dan HCG.

Kista Ovarium
            Kista ovarium adalah struktur pada ovarium yang berisi cairan. Kista ovarium terjadi karena gangguan pada hipofisa anterior dimana pelepasan FSH terjadi dengan kadar normal tetapi pelepasan LH tidak dengan kadar normal.

Kista ovarium terbagi menjadi :
1.      Kista Folikel
2.      Kista Luteal
3.      Kista Korpus Luteum
Kista folikel dan kista luteal adalah kista anovulatorik karena tidak terjadi ovulasi sedangkan kista korpus luteum adalah kista ovulatorik karena terbentuknya kista didahului oleh terjadinya ovulasi. Kista folikel dan kista luteal bersifat patologik sedangkan kista korpus luteum tidak bersifat patologik

1. Kista Folikel
            Kista folikel adalah sekelompok folikel di permukaan ovarium yang tumbuh tetapi tidak mengalami ovulasi. Hal ini terjadi karena kadar FSH yang dilepaskan oleh hipofisa anterior cukup untuk mendorong pertumbuhan folikel tetapi kadar LH yang dilepaskan tidak cukup untuk menyebabkan ovulasi pada folikel yang telah tumbuh.
            Pada pemeriksaan per rektal akan teraba pada permukaan ovarium terdapat benjolan yang berdiameter 2,5 – 5 cm (pada sapi perah) dengan permukaan yang halus, lunak dan berisi cairan dengan jumlah satu atau lebih yang ditemukan pada salah satu atau kedua ovarium. Kista folikel berdinding tipis sehingga mudah pecah bila ditekan dan apabila pecah pada permukaan ovarium bekas kista folikel akan terjadi legokan. Perabaan pada uterus terasa tonus uterus yang kendor, pada serviks, vagina dan vulva terasa lebih besar dan kendor karena terjadi oedema. Kista folikel umumnya terjadi pada kedua ovarium.
            Gejala klinis kista folikel dapat berupa nimfomani (75 %) atau anestrus (25 %). Nimfomania adalah suatu keadaan dimana hewan betina menunjukkan gejala estrus lebih dari satu kali dalam satu siklus estrus tanpa disertai terjadinya ovulasi sedangkan anestrus adalah keadaan dimana hewan betina tidak menunjukkan gejala estrus lebih dari satu siklus estrus. Setiap folikel pada kista folikel mampu menghasilkan estrogen walaupun dalam jumlah kecil sehingga apabila kista folikel terdiri dari banyak folikel maka akan terjadi akumulasi estrogen, akibatnya akan muncul tanda estrus dan dapat terjadi lebih dari satu kali dalam satu siklus estrus. Gejala anestrus nampak pada penderita kista folikel yang terdiri dari sedikit folikel sehingga estrogen yang dihasilkan tidak mampu menyebabkan munculnya tanda estrus.
            Penanganan kasus kista folikel dilakukan dengan pemberian preparat LH atau HCG untuk merangsang ovulasi atau dilakukan pemecahan kista secara manual melalui palpasi rektal tetapi cara ini dapat menyebabkan terjadinya radang pada ovarium.

2. Kista Luteal
            Kista luteal adalah kista yang terjadi karena pada saat terbentuk kista folikel dimana kadar LH rendah tetapi pada saat yang bersamaan terjadi pelepasan LTH yang cukup banyak menyebabkan pada permukaan folikel akan terjadi proses luteinisasi sehingga terbentuk sel luteal pada permukaan folikel. Kista luteal sering terjadi pada sapi perah dengan produksi susu tinggi pasca melahirkan.
            Pada pemeriksaan per rektal akan sulit dibedakan antara kista folikel dengan kista luteal walaupun kista luteal mempunyai dinding yang lebih tebal karena dinding kista luteal terdiri dari sel yang telah mengalami lutenisasi. Karena dinding kista luteal terdiri dari sel luteal maka kista luteal mampu menghasilkan progesteron dalam jumlah yang cukup tinggi sehingga gejala klinis pada kasus kista luteal adalah terjadinya anestrus pada penderita. Kista luteal dapat ditemukan secara bersamaan dengan adanya korpus luteum yang normal baik pada ovarium yang sama atau pada ovarium yang berbeda.
            Penangan pada kasus kista luteal dapat dilakukan dengan cara pemijatan kista secara manual melalui palpasi rektal atau pemberian preparat PGF untuk melisiskan sel luteal diikuti dengan pemberian LH atau HCG untuk merangsang ovulasi. Pemberian preparat GnRH dapat dilakukan pada kasus kista folikel atau kista luteal.

3. Kista Korpus Luteum
            Kista korpus luteum terbentuk dari folikel yang telah mengalami ovulasi dan terbentuk korpus luteum yang normal, namun dalam perkembangannya pada bagian tengah korpus luteum terbentuk rongga yang berisi cairan. Kista korpus luteum selalu bersifat tunggal dan pada palpasi rektal mudah dibedakan dengan kista yang lain karena ukurannya yang lebih besar menyerupai ukuran korpus luteum normal tetapi memiliki konsistensi yang lebih lunak dan lebih fluktuatif.
            Penderita kista korpus luteum memiliki siklus estrus normal, mengalami ovulasi dan bila terjadi kebuntingan dapat menghasilkan progesteron dengan kadar yang cukup untuk memelihara kebuntingan.

4. Korpus Luteum Persisten (CLP)
            Korpus luteum persisten adalah korpus luteum yang tidak mengalami regresi (lisis) pada akhir siklus estrus atau setelah melahirkan sehingga tetap berfungsi menghasilkan progesteron. Tingginya kadar progesteron menyebabkan terjadi hambatan pada mekanisme umpan balik terhadap FSH dan LH dengan demikian tidak terjadi pertumbuhan folikel baru pada ovarium sehingga tidak terjadi produksi estrogen dan tidak timbul tanda estrus.
Gejala klinis terjadinya korpus luteum persisten adalah terjadi anestrus berkepanjangan. Korpus luteum persisten dapat terjadi pada induk setelah melahirkan, karena adanya patologi uterus dan adanya kematian embrio dini.
Korpus luteum persisten setelah melahirkan terjadi akibat tingginya kadar LTH pada induk dengan produksi susu yang tinggi sehingga menghambat sekresi FSH dan LH. Korpus luteum persisten akibat adanya patologi uterus terjadi akibat ketidak mampuan endometrium memproduksi PGF karena terjadi pyometra, maserasi fetus, mummifikasi fetus atau emfisema fetus. Korpus luteum persisten akibat kematian embrio dini bukan merupakan korpus luteum persisten yang murni tetapi lebih tepat bila dikatakan sebagai korpus luteum graviditatum yang berakhir karena kematian embrio dini tanpa disertai dengan gejala abortus yang jelas.
Penanganan terhadap korpus luteum persisten dilakukan dengan memperhatikan penyebabnya. Penggunaan preparat PGF dilakukan untuk melisiskan korpus luteum, bila terjadi akibat patologi pada uterus maka harusditangani terlebih dahulu penyebabnya
kemudian baru dilakukan dengan pemberian PGF2α.






KEMAJIRAN KARENA FAKTOR INFEKSI

1. Infeksi Bakteri
            Kemajiran akibat infeksi bakteri dapat disebabkan oleh bakteri yang bersifat non spesifik dan spesifik. Kemajiran akibat infeksi dapat disebabkan oleh penyakit sistemik (tuberculosis) yang kadang dapat menyerang organ reproduksi dan penyakit venereal yang memang menyerang organ reproduksi.

A. Infeksi oleh bakteri non spesifik
            Beberapa kelompok bakteri non spesifik yang ditemukan dalam cairan uterus yang dapat menyebabkan terjadinya kemajiran pada ternak betina adalah :
Ø  Kelompok koliform (E.coli, proteus, enterobacter)
Ø  Kelompok bakteri insidental (streptococcus, staphylococcus, pasteurela hemolitica, bacillus, dipteroid)
Ø  Kelompok bakteri coryne (corynebacterium pyogenes)
Ø  Kelompok bakteri gram negatif yang anaerob (bakteroid, fuso bacterium, veillonella)
Ø  Kelompok bakteri gram positif yang anaerob (clostridium)
Cara penularan :
            Penularan terjadi karena kontaminasi uterus saat melahirkan terutama bila kelahiran terjadi pada kandang dengan sanitasi yang buruk.
Gejala klinis :
            Infeksi oleh bakteri non spesifik dapat menyebabkan terjadinya metritis. Pada kasus yang ringan biasanya tanpa disertai gejala klinis yang jelas sedangkan pada kasus metritis yang berat maka nampak terjadi keluar leleran (mukus, serous atau nanah) dari vagina.