a. Genetis
1) Hipoplasia Ovaria
Merupakan suatu keadaan indung telur tidak berkembang
karena keturunan. Hal ini dapat terjadi secara unilateral maupun
bilateral. Apabila terjadi pada salah satu indung telur maka sapi akan
menunjukan gejala anestrus (tidak pernah birahi) dan apabila terjadi
pada kedua indung telur maka sapi akan steril (majir). Secara perrektal
indung telur akan teraba kecil, pipih dengan permukaan berkerut. (kadang seperti kacang polong). Pada
sapi betina hipoplasia yang parsialis, pertumbuhan alat kelaminnya
adalah normal. Sedangkan hewan betina yang menderita hipoplasia berat
yang bilateral, pertumbuhan saluran alat kelamin menjadi tidak sempurna
dan tetap kecil, birahinya tidak muncul dan tidak ada pertumbuhan
sifat-sifat kelamin sekunder. Ini disebabkan pertumbuhan saluran alat
kelamin ada dibawah pengaruh hormone steroid yang dihasilkan oleh
ovarium. Pada sapi betina yang menderita hipoplasia ovariuym yang berat
dan bilateral, akan berupa seekor sapi jantan kebiri, kakinya panjang,
pelvisnya sempit, ambingnya tidak tumbuh dan putingnya kecil, uterusnya
kecil dan keras. Alat kelamin luarnya juga kecil karena tidak berkembang
(Arthur et al., 1982).
2) Agenenesis Ovaria
Agenesis ovaria merupakan suatu keadaan sapi tidak
mempunyai indung telur karena keturunan. Dapat terjadi secara unilateral
(salah satu indung telur) ataupun bilateral (kedua indung telur). Prognosa : infausta.
3) Freemartin
Abnormalitas ini terjadi pada fase organogenesis (pembentukan organ dari embrio di dalam kandungan pada usia 12-45 hari kebuntingan),
kemungkinan hal ini disebabkan oleh adanya migrasi hormon jantan
melalui anastomosis vascular (hubungan pembuluh darah) ke pedet betina
dan karena adanya intersexuality (kelainan kromosom). Pada
umumnya, kromosom X membawa gen untuk betina dan jantan, namun ketiadaan
kromosom Y pada betina menyebabkan perkembangan organ jantan tertekan,
sementara pada penderita sindrom freemartin, kromosom yang dimiliki
adalah XXY sehingga inhibisi untuk perkembangan organ betina hilang.
Organ betina sapi freemartin tidak berkembang (ovaria
hipoplastik) dan ditemukan juga organ jantan (glandula vesikularis).
Sapi betina nampak kejantanan seperti tumbuh rambut kasar di sekitar
vulva, pinggul ramping dengan hymen persisten. Klitoris
berkembang lebih besar, vagina kecil dan ujungnya buntu. Servik tidak
normal, uterus kecil dan tuba falopii tidak teraba. Dignosa pada
freemartin adalah dengan alat berupa kateter yang dimasukkan ke dalam
vagina, jika betina normal, kateter dapat masuk sampai 12-15 cm,
sementara pada penderita freemartin kateter hanya dapat masuk sampai 5-6
cm (Bearden, et all, 2004).
4) Aplasia segmentalis ductus mulleri (white heifer disease)
Kelainan ini terjadi pada uterus, sebagai akibat dari tidak sempurnanya
persatuan kedua saluran muller pada periode embrional, akibatnya
terjjadi kelainan pada bentuk uterus. Kelainan ini disebabkan oleh gen
yang resesif yang semula diduga bertautan dengan warna putih (sex
linkage). Kelainan pada saluran uterus ini sering disebut white heifer
disease karena banyak dijumpai pada sapi dara yang bewarna putih dari
bangsa shorhorn. Akan tetapi ternyata kelainan genetic pada uterus ini
dijumpai juga pada sapi-sapi yang berwarna bukan putih seperti sapi
Holstein, jersey, Guernsey, dan lain-lain.
Menurut derajatnya, aplasia segmentalis duktus mulleri ini dibagi menjadi tiga bentuk yaitu :
Menurut derajatnya, aplasia segmentalis duktus mulleri ini dibagi menjadi tiga bentuk yaitu :
a) Bentuk
pertama, bentuk yang paling berat yang didapatkan adanya konstriksi
atau penyempitan koruna uteri, korpus uteri, serviks, dan vagina bagian
anterior. Koruna uteri berbetuk seperti pita tidak berongga, dapat juga
koruna uteri membentuk kisata yang berisi lendir berwarna kuning atau
coklat kemerahan. Besarnya kista bias berdiameter 2-10 cm dengan dinding
yang tipis saja. Adanya pengecilan koruna uteri seperti piota dan
rangkaian kista-kista duktus mulleri. Vagina dapat menjadi pendek atau
bagian posterior dari vagina menjadi besar, sebab ada lendir yang
tertimbun disebabkan karena selaput dara (hymen) yang buntu.
b) Bentuk
kedua dari kelainan ini berupa uterus unikornus. Jadi pada bentuk ini,
salah satu koruna uteri mempunyai ukuran yang normal, sedangkan koruna
uteri yang lain bentuknya kecil seperti pita tidak berongga. Kebanyakkan
koruna uteri kanan yang menderita penyempitan atau bahkan kadang-kadang
tidak ada sama sekali.
c) Bentuk
ketiga adalah adanya sela[ut dara (hymen) yang menebal dan menetap
(persisten), sedangkan saluran alat kelamin lainnya dalam keadaan
normal. Oleh karena ovarium dalam keadaan normal, maka sapi yang
menderita kelainan ini dapat birahi secara normal. Hanya pada waktu
kawin atau inseminasi buatan atau pada waktu melahirkan, induk
memperoleh kesulitan karena selaput daranya menebal dan menutupi jalan
keluar vagina (Hardjopranjoto, S.1995).
5) Uterus Didelpis
Suatu
kelainan dari saluran alat kelamin betina dimana korpus uterinya tidak
ada, menyebabkan koruna uteri berhubungan langsung dengan serviks yang
mempunyai saluran ganda. Penyebab kelainan ini adalah juga karena adanya
kegagalan dari kedua saluran muller untuk bersatu secara normal pada
masa embrional. Kelainan ini dalah sama dengan kelaina serviks, yaitu
adanya dua saluran pada batang serviks yang bermuara pada vagina.
Diagnosa dapat dilakukan dengan pemeriksaan melalui rectal yang tidak
dijumpai adanya koruna uteri. Kasusnya pada ternak sangat jarang
(Hardjopranjoto, S.1995).
6) Saluran serviks ganda (Double Serviks)
Penyebab
dari keadaan ini, adalah tidak berjalannya secara normal, persatuan
kedua saluran muller pada periode embrional, sehingga ada pita yang
membagi korpus uteri dan saluran serviks menjadi dua bagian terpisah.
Diagnosa dengan pemeriksaan memakai vaginoskop, akan terlihat
seolah-olah ada dua lobang pada saluran serviks, karena ada selaput yang
membagi saluran serviks berupa tenuna seperti pita. Pada keadaan yang
berat terjadi dinding pemisah tebal. Seperti pita tersebut membentang
sepanjang serviks sampai pangkal koruna uteri, sehingga kedua saluran
serviks masing-masing berhubungan dengan koruna uterinya sendiri-sendiri
sehingga terbentuklah uterus didelpis (Arthur et al., 1982).
7) Atresia Vulva
Suatu keadaan pada vulva yang
terjadi pertumbuhan tidak sempurna dalam bentuk adanya perlekatan kedua
bibir (labia) vulva dibagian ventralnya. Kadang-kadang kelainan ini
bersamaan dengan atresia ani. Kasusnya jarang pada ternak, tetapi
kelainan ini bersiofat menurun. Diagnosa dapat dilakukan dengan
pemeriksaan klinis khususnya pemeriksaan pada alat kelamin luarnya,
yaitu adanya kelainan pada bagian ventral dari vulva. Penanggulangan
dapat dilakukan dengan operasi melalui pelepasan bagian yang mengalami
perlekatan. Bila dijumpai pada ternak betina, sebaiknya tidak dikawinkan
dan dikeluarkan dari peternakan.
b. Hormonal
1) Sista Ovarium
Status ovarium dikatakan sistik apabila mengandung satu
atau lebih struktur berisi cairan dan lebih besar dibanding dengan
folikel masak. Penyebab terjadinya sista ovarium adalah gangguan ovulasi
dan endokrin. Ada 3 macam bentuk sista ovarium, yaitu sista folikuler, sista luteal dan sista korpora luteal.
- Sista Folikuler (thin walled cyst)
Terjadi
karena rendahnya hormon LH, akibatnya terjadi kegagalan ovulasi dan
luteinasi pada folukel yang matang. Pada pemeriksaan per rektal teraba
ovarium berdiameter lebih dari 2,5 cm, permukaan halus, dinding tipis,
jika ditekan terdapat fluktuasi. Penanganan : enukleasi dan pemberian
hormon LH/hCG. Ciri spesifik yaitu terjadi nimfomania (selama 3-10
hari), jika berlanjut terus menerus maka sapi akan memiliki pangkal ekor
yang meninggi karena relaksasi ligamentum pelvis yang berlebihan, dan
juga dapat terbentuk leher maskulin. Ciri spesifik lain yaitu : tonus
vulva, vagina, servik, dan uterus berkurang ; prolapsus vagina secara
pasif ; relaksasi ligamentum sacroiliaca dan ligamentum pelvis
(menyebabkan penampilan “sterility hump” pada pangkal ekor) ; perubahan
metabolisme ; perubahan produksi susu ; rambut kasar ; nervous ;
emaciasi.
- Sista Luteal
Sementara
sista luteal adalah folikel matang yang gagal mengalami ovulasi namun
mengalami luteinasi oleh tingginya hormon LTH. Karena berbeda tingkatan
luteinasi, sista luteal teraba lebih kenyal/tidak sepadat corpus luteum.
Gejala yang ditimbulkan adalah terjadi anestrus. Pada pemeriksaan per
rektal teraba ovarium berdiameter lebih dari 2,5 cm, permukaan halus,
dinding tebal, jika ditekan kenyal., bersifat non ovulatorik Penanganan
pemberian PGF2α
- Sista Korpora Luteal
Sista
korpora luteal adalah korpus luteum yang di dalamnya terbentuk rongga
dan berisi cairan. Sista corpora luteal tidak dapat mempertahankan
kebuntingan, akibatnya, setelah sapi dikawinkan, dan terjadi
fertilisasi, terjadi kematian embrio dini karena progesteron yang
dihasilkan CL yang menjadi sista tidak mencukupi. Gejala yang muncul
yaitu kawin berulang (repeat breeding). Pada pemeriksaan per rektal
teraba ovarium berdiameter lebih dari 2,5 cm, permukaan halus, dinding
tipis, jika ditekan terasa kenyal. Penanganan : pemberian PGF2α (jika
sapi bunting) atau CIDR/PRID (jika tidak bunting) (Coleman, 2005).
2) Silent Heat
Silent heat merupakan ovulasi yang tidak diikuti dengan timbulnya gejala
estrus. Tatapi, biasanya estrus pertama post partum secara normal
terjadi tanpa perilaku estrus, hal ini karena tidak ada reseptor
estrogen akibat dari rendahnya progesteron post partum (progesteron
dibutuhkan sebagai penginduksi reseptor estrogen, jika resepetor
estrogen tidak ada maka estrus terjadi secara diam (Eilts, 2007).
3) Delayed Ovulation
Jika ovulasi terjadi lebih dari 18 jam setelah akhir estrus. Diagnosa dengan palpasi dan dapat diterapi dengan GnRH.
Daftar Pustaka :
Bearden, H Joe, John W Fuquay, & Scott T. Willard. 2004. Applied Animal Reproduction. Upper Saddle River : New Jersey
Eilts, 2007. Bovine Anestrus, http://www.vetmed.lsu.edu/eiltslotus/theriogenology-5361/bovine_anestrus.htm.
Coleman, TT. Cystic Ovarian Disease. http://www.wvu.edu/~exten/infores/pubs/livepoul/dirm25.pdf.
Kunta, 2007. INFERTILITAS KARENA FAKTOR GENETIK PADA SAPI. http://kunta-adnan.blogspot.com/2007/04/infertilitas-karena-faktor-genetik-pada.html.
No comments:
Post a Comment